Pagi pukul 7.45, siswi kelas sebelas IPS yang pada saat itu hadir sejumlah delapan orang tengah mempersiapkan keberangkatan menuju Stasiun Rangkasbitung. Tepatnya merealisasikan wacana untuk mengunjungi Perpusnas (Perpustakaan Nasional) di Jakarta. Kegiatan ini sebenarnya telah di wacanakan sejak semester ganjil kemarin, serta merupakan lanjutan dari tugas sosiologi di lapangan, yakni meneliti mengenai “Kesenjangan Ekonomi/Kemiskinan di Daerah”. Dikarenakan ingin mengeksplor lebih banyak dari sekedar kasus kesenjangan yang ada di daerah, kami mencoba melihat realita tersebut di Kota, seperti Kota Jakarta yang akan dituju ini.

Sebelum berangkat, Pak Iwan (Kepsek SMATA) memberi kami wejangan agar dapat mencerna setiap apa yang dilihat selama perjalanan sebagai suatu pelajaran berharga yang tidak dapat diperolah di dalam Kelas. Sembari memegang amanah tersebut, akhirnya kami berangkat ke Stasiun dengan memesan dua kendaraan Grab. Aku yang satu mobil dengan Muthia, Humaira, dan Hemalia mengisi perjalanan dengan mendengar berita kurang enak yang kayaknya sedang viral, “Kecelakaan maut di Balikpapan”, kata Pak Sopir yang aku tanyai.

Banyak pedagang saat kami datang di Stasiun, karna posisi nya berada di tengah-tengah pasar memang. Jadi, kerasa banget interaksi kerumunan masyarakatnya, walaupun pandemi katanya masih ada. Di sisi lain, prokes diketatkan saat kami masuk. Kartu vaksin dan barcode aplikasi pedulilindungi milik kami diminta untuk diperlihatkan, merupakan ketentuan yang harus kami penuhi untuk bisa masuk ke dalam. Saat ingin memasuki gerbong, Pak Taufik membagi kami menjadi dua kelompok; kelompok satu beranggotakan aku (Reva), Khaira, Suci, Hemalia dengan didampingi Pak Ajes, dan kelompok dua yakni Zidny, Jeni, Muthia, Humaira yang didampingi Pak Taufik. Kami pun memasuki gerbong berbeda namun sama-sama khusus perempuan yang berada di paling depan dan paling belakang kereta.Tujuannya agar dari dua kelompok ini dapat melewati pengalaman yang beragam selama perjalanan.

Setelah melewati delapan belas Stasiun, kami pun sampai di Stasiun terakhir; Tanah Abang. Aku masih sedikit perihatin, bagaimana tidak? Semakin mendekati Perkotaan, semakin sering juga berjejer banyak rumah gubuk dan lingkungan kumuh di sudut terpencil kota, yang hanya bisa dilihat dari jalur kereta. Dibalik maju nya Kota Jakarta, ternyata kesenjangan ekonominya sangat signifikan. Tanpa menunggu lama, kami melanjutkan perjalanan terakhir, yaitu menuju lokasi Perpusnas dengan menggunakan Grab.

Selama menumpangi kendaraan tersebut, kami disuguhi pemandangan gedung-gedung tinggi, bangunan perkantoran negara, juga infrastruktur jalan yang cukup tertata. Di teras tempat pertama kali orang-orang memasuki gedung Perpusnas, kami menunggu sebentar. Lalu petugas resepsionis datang menawarkan bantuan karena melihat kami tidak kunjung masuk. Lagi-lagi kami terhambat prokes, lebih tepatnya mengenai kartu vaksin. Setiap pengunjung yang masuk harus menggunakan barcode pedulilindungi, sedang sebagian dari kami hanya membawa kertas print-an nya. Agak cukup lama dengan segala usaha dan negosiasi, akhirnya kami semua berhasil masuk.

Di dalam, kami ditakjubkan dengan penataan ruangan yang seperti museum. Di luar ekspetasi kami yang menggambarkan Perpusnas seperti Perpustakaan besar yang isinya hanya buku-buku saja. Tak mau melewatkan peluang tersebut, kami pun mengambil banyak foto aestetic di sana. Banyak sejarah Indonesia yang menarik, terlebih mengenai buku dan tulisan. Ada juga profil beberapa penulis beserta puisi khasnya yang ditampilkan di layar-layar kecil tersusun di dinding ruangan yang mirip dengan ruang tamu.

Kemudian, kami disuruh memasuki gedung yang lebih besar di belakang bangunan ini. Benar-benar besar untuk ukuran sebuah Perpustakaan.

Masih banyak pajangan-pajangan menarik di sana, namun kami terfokus pada perintah Pak Taufik untuk membuat kartu keanggotaan Perpusnas. Setelah meletakkan barang-barang di loker, kami bergegas pergi ke lantai dua. Namun, saat tiba, ternyata kuota pembuatannya hanya 300 peserta perhari. Dan saat itu sebelum dzuhur, kami kehabisan kuota tersebut.

Setelah mengabari Pak Taufik yang sejak sebelum masuk gedung ini sudah terpisah dengan kami, kami diminta naik ke lantai tiga, di sana Pak Taufik dan Pak Ajes memberi opsi kepada kami, “Mau makan dulu atau solat dulu?”, awalnya kami memilih solat dahulu, namun karena kepalang lapar, akhirnya kami pergi ke lantai empat; Kantin Perpusnas. Pak Taufik hanya memberi waktu 15 menit untuk makan, tapi kami malah belok ke tempat pameran sebentar. Banyak lukisan unik di sana, bagus sekali untuk dijadikan bahan foto aestetic.

Akhirnya, setelah puas mengambil foto, kami pergi ke Kantin dan memesan delapan porsi ayam geprek. Pesanannya belum datang, Pak Taufik dan Pak Ajes tiba-tiba menghampiri kami. Ternyata hanya mengecek kondisi kami, karena mereka sudah menunggu terlalu lama. Singkat cerita setelah usai menyantap makan siang, kami pergi ke lantai enam; Mushola. Tentunya untuk menunaikan solat dzuhur di sana.

Perut sudah terisi, ibadah pun terlaksana, lalu kami naik ke lantai dua puluh empat. Ada ruangan kaca juga balkon yang menghadap langsung ke Monas. Lengkap sudah menengok Jakarta, walaupun hanya melihat Monas dari jauh, karena belum dapat dikunjungi masyarakat. Tapi, cukup membayar kelelahan selama perjalanan tadi. Tentunya, tak mau melewatkan kesempatan, kami memotret ke-aestetic-an tersebut dengan handphone kami, juga kamera milik Pak Ajes.

“Teman-teman, masih kurang lengkap rasanya kalau ke Perpusnas ngga baca buku”, ujar Pak Taufik. Setelahnya, kami dibebaskan memilih jenis buku apa pun yang ingin dibaca. kebanyakan dari kami membaca buku sejarah mengenai Indonesia tempo dulu. Sisanya, ada yang memilih buku geografi, maupun rangkuman corak budaya di Indonesia. Yang berkesan adalah, kami bisa merasakan langsung membaca di Perpustakaan Nasional Indonesia, meskipun sebenarnya sama saja dengan baca buku di mana saja.

Matahari kian condong ke barat, pengumuman bahwa Perpusnas akan segera ditutup dalam tiga puluh menit, sudah kami dengar. Kami pun bergegas ke lantai enam lagi untuk solat ashar. Setelah usai, suasana di sana semakin sepi. Akhirnya kami kembali ke lantai satu untuk mengambil barang-barang di loker. Sebelum pulang, Pak Taufik, Pak Ajes, dan personil lengkap kelas sebelas IPS yang ada di sana, mengambil momen kebersamaan itu lengkap dengan almet merah SMATA.

Kami pun berkumpul di trotoar depan gerbang Perpusnas, kembali menunggu Grab yang sudah kami pesan. Nampaknya perjalanan hari ini akan segera usai. Tak terlalu lama menunggu, kami pun diantarkan ke Stasiun Tanah Abang. Kondisi tempat ini di sore hari sangat berbeda dengan saat pertama kali kami datang. Sangat ramai pengunjung. Para calon penumpang kereta tersebut dapat ditebak merupakan para pekerja yang baru pulang dari kantor. Banyak pedagang pinggir jalan yang kondisinya memperihatinkan, mereka menjajakan dagangan dengan beralas tikar. Ada yang menjual sandal, gesper, kartu dan casing handphone, gorengan, juga minuman. Ada pula yang mencari pencaharian dengan ngamen, seperti ibu-ibu tunanetra usia senja yang berdiri di dekat antrian pengunjung kereta. “Kota tak seindah kelihatan di luarnya, di balik itu banyak yang kondisinya jauh dari kata maju”, batinku.


Aku teringat pesan dari Pak Iwan, “Cernalah apa-apa di luar sana. Dimana itu adalah pelajaran berharga yang tidak akan pernah diperoleh di dalam ruang kelas”.

 


RSNA_